IDENTIFIKASI DINI DAN ASESMEN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS
A. Hakekat Identifikasi Dini dan
Asesmen
Istilah identifikasi dan asesmen sering dipergunakan secara bergantian.
Secara harfiah seseungguhnya identifikasi berbeda dengan asesmen .
Identifikasi dini merupakan pada
tahapan awal yang masih bersifat global/kasar dari asesmen yang lebih rinci dan
hal detail. Tujuan dari identifikasi dini dan asesmen juga berbeda . Hal ini
menyangkut kompetensi dan profesionalisme.
Identifikasi dini sering dimaknai
sebagai proses penjaringan awal mungkin, sedangkan asesmen dimaknai sebagai
penyaringan. Identifikasi dini Anak Berkebutuhan Khusus dimaksudkan sebagai
suatu upaya seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya)
untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami
kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional/ tingkah laku)
seawal mungkin dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil
dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu
mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inkulusi. Pengelompokan
anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi:
1. Tunanetra/
anak yang mengalami gangguan penglihatan;
2. Tunanrungu/
anak yang mengalami gangguan pendengaran;
3. Tunadaksa/
anak yang mengalami kelainan anggota tubuh/ gerakan;
4. Anak
Berbakat/ anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa;
5. Tunagrahita;
6. Anak
lamban belajar;
7. Anak yang
mengalami kesulitan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau diskalkulia);
8. Anak yang
mengalami gangguan komunikasi; dan
9. Tunalaras/
anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
Sesuai
keperluan pembelajaran dan layanan khusus lain yang sesuai dengan kebutuhan
anak, dapat dilanjutkan dengan kegiatan asesmen.
Kegiatan
asesmen ini lebih ditekankan pada upaya
1. Asesmen
akademik,
2. Asesmen
sensorik dan motorik,
3. Asesmen
pribadi dan sosial, dan
4. Asesmen
lain yang dianggap perlu.
Dengan asesmen
akan diketahui kelemahan/ kesulitan anak dalam satu hal,
kekuatan/potensi/kemampuan dan kelebihan anak dalam satu hal, serta kebutuhan
layanan khusus yang diperlukan utnuk mengatasi satu hal.
B. Tujuan Identifikasi Dini
Secara umum tujuan
identifikasi ini adalah untuk menghimpun informasi seawal munggkin apakah
seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, sosial,
emosional, dan atau sensoris neurologis) atau tidak. Disebut mengalami
kelainan/ penyimpangan tentunya harus dibandingkan dengan anak lain yang sebaya
dengannya. Hasil dari identifikasi akan dilanjutkan dengan asesmen, yang hasilnya
akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan
kemampuan dan ketidakmampuannya.
Dalam rangka pendidikan
inklusi, kegiatan identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus dilakukan untuk lima
keperluan, yaitu:
1.
penjaringan
(screening),
2.
pengalihtanganan
(referal),
3. klasifikasi,
4. perencanaan
pembelajaran, dan
5. pemantauan
kemajuan belajar.
Adapun
Penjelasan dari kegiatan tersebut sebagai berikut:
1.
Penjaringan (screening)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak dikelas dengan Alat
Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Contoh alat identifikasi terlampir. Pada
tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukan
gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami
kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong Anak Berkebutuhan Khusus.
Dengan alat identifikasi ini guru,
orang tua, maupun tenaga profesional terkait, dapat melakukan kegiatan
penjaringan secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan
lebih lanjut.
2.
Pengalihtanganan (referal)
Berdasarkan gejala-gejala yang dtemukan pada tahap penjaringan,
selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada
anak yang tidak peru dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat
langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang
sesuai.
Kedua, ada anak yang perlu dirujuk
ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog
(ahli PLB), dan atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru.
Proses perujukan anak oleh guru ke
tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang
bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga
professional tersebut tidak tersedia dapat diminintakan bantuan ke tenaga lain
yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) atau Konselor.
3.
Klasifikasi
Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan
apakah anak yang telah dirujukke tenaga professional benar-benar memerlukan
penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus.
Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan maslaah yan
gperlu penanganan lebih anjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan
khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang
tuasiswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan atau memberi therapy
sendiri, melainkan menfasilitasi dan meneruskan kepada orang tua tentang
kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal
pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak
ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan
penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan khusus.
Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah
mana Anak Berkebutuhan Khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana
yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
4.
Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan
program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil
dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradiasi (tingakt kelainan) Anak
Berkebutuhan Khusus memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama
lain. Mengenai program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan
dibahas secara khusus dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam
pendidikan inklusi.
5.
Pemantauan Kemajuan Belajar
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program
pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak. Apabil adalam kurun
waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang signifikan (berarti), maka
perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya apakah diagnosis
yang dibuat tepat atau tidak, Program Pembelajaran Individual (PPI) yang
disusun sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang diberikan sesuai atau
tidak, dan seterusnya.
Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami
kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil
memperbaiki/ menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada.
Dengan lima tujuan khusus diatas, identifikasi perlu dilakukan secara
terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan atau bekerja
sama dengan tenaga professional terkait.
C. Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah seluruh
anak usia pra- sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus
(operasional), sasaran identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah:
1. Anak yang
sudah bersekolah di Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;
2. Anak yang
akan masuk ke Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;
3. Anak yang
belum/ tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong Anak
Berkebutuhan Khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara
itu, semua SD terdekat belum/ tidak mau menerimanya;
4. Anak yang
drop-out Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah karena faktor akademik.
D.
Petugas Identifikasi
Untuk
mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong Anak Berkebutuhan Khusus atau
bukan, dapat dilakukan oleh:
1. Guru
kelas;
2. Orang tua
anak; dan atau
3. Tenaga
proffesional terkait.
E. Pelaksanaan Identifikasi
Ada beberapa
langakah dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk
identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out sekolah,
maka sekolah yan gbersangkutan perlu melakukan pendataan ke masyarakat sekitar
kerjasama dengan Kepala Desa/ Lurah, RT, RW setempat. Jika pendataan tersebut
ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan
pembicaraandengan orang tua, komite sekolah maupun perangkat desa setempat
untuk mendapatkan tindak lanjutnya.
Untuk anak-anak
yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Menghimpun Data tentang Anak
Pada tahap ini petugas (guru)
menghimpun data kondisi seluruh siswa dikelas (berdasar gejala yan gnampak pada
siswa) dengan menggunakan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AI ALB). Lihat format 3
terlampir.
1.
Menganalisis Data dan Mengklasifikasi Anak
Pada tahap ini tujuannya adlaah untuk
menemukan anak-anak yang tergolong Anak Bekebutuhan Khusus (yang memerlukan
pelayanan pendidikan khusus). Buatlah daftar nama anak yang diindikasikan
berkelainan sesuai dengan ciri-ciri dan standar nilai yang ditetapkan. Jika ada
anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan
ketentuan tersebut, maka dimasukan ke dalam daftar nama-nama anak yang
berindikasi kelainan sesuai dengan format khususyang disediakan seperti
terlampir (lihat format 4). Sedangkan untuk anak-anak yan gtidak menunjukan
gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukan ke dalam daftar
khusus tersebut.
1.
Mengadakan Pertemuan Konsultasi dengan Kepala Sekolah
Pada tahap ini, hasil analisis dan
klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk
mendapat saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
1. Menyelenggarakan
pertemuan kasus (case conference)
Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasi
oleh Kepala Sekolah setelah data Anak Berkebutuhan Khusus terhimpun dari
seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah; (2) Dewan
Guru; (3) orang tua/ wali siswa; (4) tenaga frofessional terkait, jika tersedia
dimungkinkan; (5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan
memungkinkan.
Materi pertemuan kasus adalah
membicarakan temuan dari masing-masing guru mengenai hasil identifikasi untuk
mendapatkan tanggapan dan cara-cara pemecahan serta penanggulangannya.
5. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus
Pada tahap ini, tanggapan dan
cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam
laporan hasil pertemuan kasus. Format laporan hasil pertemuan kasus, dapat
menggunakan contoh seperti yang terlampir (lihat format 5)
6. Alat Identifikasi
Secara sederhana ada beberapa aspek
informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi.
Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam
rangka menemukenali anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus, antara lain
sebagai berikut:
Form 1 : Informasi riwayat
perkembangan anak
Form 2 : Informasi/ data orangtua
anak/wali siswa
Form 3 : Informasi profil kelainan
anak (AI-ALB)
Dari ketiga informasi tersebut secara
singkat akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Informasi Riwayat Perkembangan Anak
Informasi riwayat perkembangan anak
adalah informasi mengenai keadaan anak sejak di dalam kandungan hingga
tahun-tahun terakhir sebelum masuk sekolah. Informsi ini penting, sebab dengan
mengetahui latar belakang perkembangan anak, kita akan menemukan sumber
penyebab problema mengajar. Informasi mengenai perkembangan anak sangat penting
bagi guru sebagai pertimbangan dalam membuat program pembelajaran yang akan
diberikan kepada anak. Informasi perkembangan anak mencakup identitas anak,
riwayat masa kelahiran, perkembangan masa balita, perkembangan fisik,
perkembangan sosial, dan perkembangan pendidikan.
Riwayat masa
kehamilan dan kelahiran mei[uti perkembangan masa kehamilan, penyakit yang diderita
ibu, usia di dalam kandungan, proses kelahiran, tempat kelhiran, penolong
persalinan, gangguan pada saat proses kelahiran, berat badan bayi, dan
tanda-tanda kelainan bayi. Perkembangan masa balita mencakup informasi mengenai
lama menyusus ibunya, usia akhir minum susu kaleng,kegiatan imunisasi,
penimbangan, kualitas dan kuantitas makanan pada masa balita, kesulitan makan
yang dialami, dan sebagainya.
Perkembangan
fisik diperlukan terutama data mengenai kapan anak mulai dapat merangkak,
berdiri, berjalan, naik sepeda roda tiga, naik sepeda roda dua, berbicara
dengan kalimat lengkap, kesulitan gerakan yang dialami, status gizi balita, dan
riwayat kesehatan.
Perkembangan sosial terutama berkaitan
dengan hubungan dengan sudara, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang tua
dan guru, hobi anak, dan minat khusus. Perkembangan pendidikan meliputi
informasi mengenai kapan masuk TK, berapa lama pendidikan di T K, kapan masuk S
D, apa kesul;itan selama di T K, apa kesulitan selama di S D, apakah pernah
tinggal kelas, pelayanan khusus yang pernah diberikan, prestasi belajar tiap
semester, mata pelajaran yang dirasakan paling sulit, dan mata pelajaran yang
paling disenangi.
2. Data Orang Tua/ Wali Siswa
Selain data
mengenai anak, tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai keadaan orang
tua/wali siswa yang bersangkitan. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa
lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan
belajar anak. Lingkungan keluarga dapat meliputi pendidikan orang tua,
pekerjaan orang tua, status sosial ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua
terhadap anak, serta pola asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak.
Data orang tua/wali siswa
sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai identitas orang tua/wali,
hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua, serta tanggungan dan
tanggapan orang tua/keluarga terhadap nak. Identitas orang tua harus lengkap,
tidak hanya identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya umur, agama,
status pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, dan tempat tinggal.
Hubungan orang tua-anak menggambarkan sejauh mana intensitas komunikasi antara
orang tua dan anak, misalnya apakah kedua orang tua satu rumah atau tidak,
demikian juga dengan anak. Apakah diasuh salah satu orang tua, pembantu, atau
keluarga lain. Semua kondisi tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar
anak.
3. Informasi Mengenai Profil Kelainan Anak
Informasi mengenai gangguan/kelinan
anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian terbukti bahwa anak-anak
yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki gangguan/kelainan penyerta.
Survei terhadap 696 siswa S D dari empat Provinsi di Indonesia yang rata-rata
nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan bahwa 71,8% mengalami
disgrafia, 66,8% disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33% mengalami gangguan
emosi dan perilaku, 31 % gangguan komunikasi, 7,9% cacat (kelainan anggota
tubuh, 6,6% gangguan gizi dan kesehatan, 6 % gangguan penglihatan, dan 2 %
gangguan pendengaran.
Tanda-tanda
kelainan atau gangguan khusus pada siswa (jika ada) perlu diketahui guru.
Kadang-kadang adanya kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak
langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya problema belajar. Tentu
saja hal ini sangat bergantung pada berat ringannya kelainan yang dialami serta
sikap penerimaan anak terhadap kondisi tersebut.
G. Tindak
Lanjut Kegiatan Identifikasi
Sebagai tindak lanjut dan kegiatan
identifikasi anak berkelainan untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang
sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Asesmen
Asesmen merupakan kegiatan penyaringan
terhadap anak-anak yang telah teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan khusus
. Kegiatan asesmen dapat dilakukan oleh guru (untuk beberapa hal), dan tenaga
profesional lain yang tersedia sesuai dengan kompetensinya. Kegiatan asesmen
meliputi beberapa bidang, antara lain:
a. Asesmen Akademik
Asesemen akademik sekurang-kurangnya
meliputi tes kemampuan membaca, menulis dan berhitung.
b. Asesmen Sensorik dan Motorik:
Asesmen sensorik terutama untuk
mengetahui ganguan penglihatan, pendengaran. Sedangkan asesmen motorik untuk
mengetahui gangguan motorik halus maupun kasar yang mungkin dapat mengganggu
pembelajaran bidang yang lain.
c. Asesemen Psikologik, Emosi dan
Sosial.
Asesmen
psikologik dapat digunakan untuk mengetahui potensi intelektual dan kepribadian
abak, Juga dapat diperluas dengan tingkat emosi dan sosial anak.
d.
Asesemen lain yang dianggap perlu:
Misalnya aspek
kesehatan, status gizi dan perkembangan fisik anak. Informasi ini sangat
penting karena aspek kesehatan sangat berpengaruh terhadap konerja belajar
anak.
Ada bagian-bagian
tertentu yang dalam pelaksanaan asesmen mebutuhkan tenaga profesional sesuai
dengan kewenangannya. Guru dapat membantu dan memfasilitasi terselenggaranya
asesmen tersebut sesuai dengan kemampuan orang tua dan sekolah.
2.
Perencanaan Pembelajaran dan Pengorganisasian Siswa
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
dapat meliputi: menetapkan bidang atau aspek problema belajar yang akan
ditangani. Apakah seluruh mata pelajaran, sebagian mata pelajaran, atau hanya
bagian tertentu dari suatu mata pelajaran. Menetapkan pendekatan pembelajaran
yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian siswa, apakah bentuknya
berupa pelajaran remedial, pengayaan, pendekatan kooperatif, atau kompetitif,
dan lain-lain, menyususun program individual.
3. Pelaksanaan Pembelajaran
Pada tahap ini guru melaksanakan
program pembelajaran serta pengorganisasian siswa berkelainan dalam kelas
reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan ditetapkan pada tahap
sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan pembelajaran harus senantiasa disesuaikan
dengan perkembangan dan kemampuan anak, tidak dapat dipaksakan sesuai dengan
target yang akan dicapai oleh guru. Program tersebut bersifat fleksibel.
4.
Pemantauan Kemajuan Belajar dan Evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan guru
dalam membantu mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan pemantauan
secara terus menerus terhadap kemajuan dan/atau bahkan kemunduran belajar anak
. Jika anak mengalami kemajuan dalam belajar, pendekatan yang dipilih guru
perlu terus dimantapkan , tetapi jika tidak terdapat kemajuan perlu diadakan
peninjauan kembali, baik mengenai isi dan pendekatan program, maupun motivasi
anak yang bersangkutan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Dengan
demikian diharapkan akhirnya semua problema belajar anak secara bertahap dapat
diperbaiki sehingga anak terhindar dari kemungkinan tidak naik kelas atau
bahkan putus sekolah.
REFERENSI
Amos, N.W. (1978). The Black Child – Language and
Communication. New York: Africana Research Publication.
David Smith,J. And Dean. (2003). Inclusion
Schools for All Students. An International Thomson Publishing Company.
Depdiknas. (2002). Paket Penanganan Siswa
Berkesulitan Belajar Untuk Guru Kepala Sekolah dan Pembina Sekolah Dasar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional. Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan. Jakarta.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi. Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan
Khusus, Dirjen Dikdasmen, Departemen Pendidikan Nasional.
Foreman, P. (2001). Integration and Inclusion in
Action. Tnelson Thomson Learning. Australia.
Mason, and Stephen, M. (1997). Visual Impairment
Acces to Education for Children and Young People. London: David Fulton
Publishers.
Sunardi. (2003). Sistem Pembelajaran Kelas
Inklusi, Workshop Pendidikan Inklusi. Semarang: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah.
UNESCO. (2004). Menciptakan Kelas Inklusif, Ramah
Terhadap Peserta Didik. Direktorat Pendidikan Luar Biasa dan Braillo.
Norway
Universitas Pendidikan Indonesia. (2002). Pendidikan
Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar. Direktorat Pendidikan Luar Biasa.
Departemen Pendidikan Nasional. Braillo Norway. Universitas Oslo.
No comments:
Post a Comment